Sabtu, 27 Maret 2010

Menguak Mitos Sapi Kudus

Dalam sejarah disebutkan bahwa sebelum Islam tersebar di pulau Jawa, mayoritas penduduk di tanah Jawa adalah memeluk agama nenek moyangnya yaitu Hindu-Budha. Karena diakui atau tidak, Hindu-Budha pada saat itu merupakan agama yang dipercaya dan diyakini oleh masyarakat Pulau Jawa sebagai agama yang simpel, praktis, dan tidak banyak ritual yang menjemukan. Namun, setelah kedatangan Walisongo di tanah Jawa, agama Hindu-Budha pun mulai sedikit bergeser dan tersisihkan eksistensinya. Walisongo datang ke pulau Jawa selain memiliki misi untuk menyebarluaskan agama Islam, mereka juga ingin sedikit-banyak mengetahui seluk-beluk tradisi dan gaya hidup (way of life) masyarakat setempat waktu itu, tak terkecuali kota Kudus.

Kota padat penduduk di daerah Pantura yang terkenal dengan julukan ‘kota kretek’ dan ‘kota santri’ tersebut, hingga kini sebagian masyarakatnya [terutama Kudus Kulon] masih meyakini mitos bahwa sapi merupakan hewan suci yang perlu dihormati dan di sucikan. Artinya dalam situasi dan kondisi apapun, masyarakat Kudus jangan sampai melukai atau bahkan menyembelih sapi. Apa sebab? Karena dahulu kala, sebelum kedatangan Walisongo, masyarakat Kudus (khususnya yang memeluk agama Hindu) sangat menyakralkan sekali hewan yang satu ini. Menurut keyakinan orang hindu, sapi merupakan lambang ibu pertiwi yang mampu memberikan kesejahteraan kepada semua umat manusia di bumi ini, begitu juga dengan gajah bagi umat Budha, sehingga tak heran bila umat Hindu menghormatinya. Bahkan, umat Islam Kudus waktu itu pun ikut menghormati pula lantaran untuk menghargai umat Hindu, sebab saat itu Kudus masih ramai pemeluk agama Hindu.

Disini, perlu dipahami bersama bahwa ada perbedaan istilah antara “menghormati” dan “memuja”. Ajaran agama Hindu memang memperlakukan sapi secara istimewa, namun bukan berarti untuk dipuja atau disembah, melainkan karena sapi memang memiliki daya pikat tersendiri bagi umat Hindu, yaitu hewan keramat yang dipercaya dapat mendatangkan keamanan, dan kesejahteraan hidup umat manusia. Jika hewan itu terbunuh oleh tangan manusia, maka jangan salahkan bila dikemudian hari seseorang yang menyembelih tersebut tertimpa musibah atau celaka.

Sapi menjadi mitos terhebat bagi masyarakat Kudus, bukan karena masyarakat Kudus ‘sindrom’ memakan daging sapi, akan tetapi masyarakat Kudus takut karena mendapat murka (laknat) dari Kanjeng Sunan Kudus. Dulu, Sunan Kudus sangat memuliakan sapi, karena niat beliau ingin menghormati para pemeluk agama Hindu dan tidak ingin mengecewakannya.

Terlepas dari benar atau tidaknya sapi itu mitos, perlu saya tegaskan disini bahwa sebenarnya dalam realitas yang ada di tengah masyarakat Kudus kini sudah mulai luntur. Artinya, sebagian masyarakat Kudus [khususnya warga Kudus Wetan] sudah mulai melanggar mitos tersebut. Buktinya, berdasarkan pantauan di beberapa masjid dan mushola di Kudus, khususnya yang terjadi di Masjid Al-Muhajirin desa Gondangmanis Kecamatan Bae pada hari raya Idul Adha kemarin (27/11/09), justru hewan yang banyak disembelih adalah sapi dan kambing. Sebagian warga Kudus berani menyembelih sapi, karena sapi dipandang dagingnya lebih banyak daripada kerbau. [Gatra.com].

Meski demikian, realitas yang ada masyarakat Kudus Wetan tidak secara langsung menyembelih sapi dengan tangan mereka sendiri, melainkan mereka mendatangkan tukang jagal lain [bukan orang Kudus asli atau orang luar Kudus] untuk menyembelihnya, lantaran takut murka Kanjeng Sunan Kudus. Sunan Kudus secara lahiriah memang orang biasa, beliau bukan Tuhan, bukan malaikat, bukan pula Nabi, tapi beliau hanyalah salah satu diantara sekian banyak kekasih Allah (waliyullah). Namun perlu dicatat, meski beliau hanya manusia biasa, tapi sumbangsih dan karya beliau terhadap masyarakat Kudus hingga kini masih hidup dan terdokumentasikan secara rapi. Itu terbukti dengan masih eksisnya bangunan Masjid Al-Aqsho berikut peninggalan-peninggalannya dan Makam Sunan Kudus yang hingga kini masih ramai hilir-mudik para peziarah baik dari dalam kota ataupun luar kota.
Sunan Kudus [Syekh Ja’far Shodiq] merupakan representasi dari salah seorang ulama yang memiliki kepedulian penuh terhadap masyarakatnya. Itulah mengapa, sampai beliau melarang bagi masyarakat Kudus untuk menyembelih sapi, agar kelak nantinya masyarakat Kudus tidak terkena petaka dalam bentuk apapun dikemudian hari.

Melawan atau Tunduk Pada Mitos

Meminjam istilah Bascom “mitos merupakan cerita prosa rakyat yang diangap benar-benar terjadi sehingga diangap suci oleh si empunya cerita”. (Via danandjaja, 986: 50). Mitos biasanya tokoh utamanya adalah seorang dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa tersebut terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti sekarang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Oleh karena itu, dalam mitos sering ada tokoh pujaan yang dipuji atau sebaliknya, ditakuti. Disisi lain pemahaman atas cerita yang bernuansa mitos, seringkali diikuti dengan adanya penghormatan yang pemanifestasian kedalam wujud pengorbanan (Suwardi, 2005: 163). Hal ini menyiratkan bahwa dalam mitos pada kenyataaanya melahirkan sebuah keyakinan karena tokoh mitos bukan tokoh sembarangan. Keyakinan tersebut sering mempengaruhi pola pikir kearah takhayul.

Jika dikontekskan pada fenomena sapi sebagai hewan keramat, maka dapat dibenarkan bahwa menyembelih hewan tersebut memang mitos. Karena dalam fenomena ini terdapat actor riil yaitu Sunan Kudus yang memiliki kekuatan spiritual untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipata, serta memiliki kekuatan emosional untuk merekrut massa. Selain itu, Sunan Kudus juga bermaksud mengindari adanya tragedi buruk dikemudian hari, berupa tertimpa musibah, hanya karena salah satu masyarakatnya menyembelih sapi.

Terlepas dari semua itu, mitos memang hanyalah sebuah cerita yang boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Namun perlu dicatat, tidak semua mitos itu salah, dan tidak semua mitos itu juga benar adanya. Yang penting mitos itu jangan sampai menjadi sebuah ideologi, bahkan keyakinan rigid, sebab mitos itu lahir karena situasi dan kondisi masyarakat setempat masa lampau, ia hanyalah dokumentasi sejarah. Sedangkan sebagaimana dipahami bersama, kehidupan di dunia ini dinamis, bukan statis. Situsi, kondisi, serta gaya hidup masyarakat akan senantiasa berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu. Manusia adalah pemegang hak otoritas atas pelbagai permasalahan hidup. Manusia ingin menerabas batas mitos ataukah tunduk pada mitos itu adalah sebuah pilihan. Asalkan, selama mitos masih sekedar cerita itu tidaklah mengapa, namun bila mitos sudah bermetamorfosa menjadi ideologi, maka bisa jadi mitos justru ‘berganti kelamin’ menjadi kepercayaan atau bahkan agama.

By: Ammar Mahmud

Mahasiswa FUPK Semester Akhir, Warga Ngembalrejo