Minggu, 20 Maret 2011

MENGGUGAT MAKNA VALENTINE

Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang) yang biasa dirayakan oleh orang-orang Barat dan juga sebagian dari masyarakat kita pada tanggal 14 Pebruari, ternyata hingga kini masih menyisakan pelbagai ambiguitas dan kejanggalan. Kalau boleh jujur, sebenarnya tidak ada ijmak sejarawan ikhwal kejelasan sejarah asal-usul hari raya tersebut. Bahkan, google yang dipercaya sebagai situs internet paling valid sedunia pun tak mampu memberikan “fatwa” yang jelas tentang kepastian sejarah Valentine. Masih terjadi silang-pendapat dan ketidakvalidan informasi.

Berdasar informasi sementara yang saya dapat dari berbagai sumber, Valentine’s Day merupakan semacam hari raya khusus bagi umat manusia untuk memperingati hari kasih sayang, utamanya bagi mereka yang telah memiliki pasangan. Hari raya ini diperingati dengan alasan agar manusia senantiasa hidup tentram dan damai dalam hangatnya kobaran api cinta.

Dalam merayakan hari tersebut, muda-mudi dan juga pasangan suami-istri biasanya saling bertukar kado, saling kasih coklat, kirim bunga, kartu Valentine, dan lain sebagainya. Bahkan, terkadang ada yang lebih ekstrem, menjelang malam Valentine sebagaian diantara mereka berinisiatif menggelar pesta narkoba, pesta seks, dengan saling kissing, putting, dan making love. Hal itu semua dilakukan sebagai dalaih rasa ‘kasih sayang’ yang mendalam terhadap pasangannya.
Terlepas dari semua itu, jika kita mau berpikir kritis, ternyata hari Valentine yang dipersepsikan sebagai hari kasih sayang umat sedunia, alih-alih justru menjadi hari raya “pesta kemaksiatan” umat manusia. Bagaimana tidak, kehadiran Valentine justru diisi dengan laku maksiat sebagaimana saya sebut tadi. Jika memang demikian, apa pantas Valentine disebut sebagai hari kasih sayang?

Sejarah Singkat Valentine

Jika ditinjau secara historis, banyak versi ikhwal asal-usul dan kejadian Valentine. Dalam buku The World Book Encyclopedia (1998) menyatakan bahwa, Valentine didefiniskan sebagai “Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine’s Day probably came from a combination of all three of those sources–plus the belief that spring is a time for lovers.
Sementara, dalam The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine dituliskan bahwa, ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Meski demikian, tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud sebenarnya, dan juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya, karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa Saint Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.


Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St. Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga ia pun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).
Sedangkan versi ketiga, disebutkan bahwa kebiasaan mengirim kartu Valentine, itu sendiri sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan St. Valentine itu sendiri. Sehingga, pada 1415 M ketika The Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine 14 Februari, ia mengirim sebuah puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya. (The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal. 242, The World Book Encyclopedia, 1998).

Reinterpretasi Kasih Sayang

Betapapun demikian sejarah yang ada, namun Valentine’s Day hingga kini masih menyisakan pelbagai persoalan kompleks yang masih membingungkan bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, anehnya sebagian dari masyarakat kita “latah” dan asal ikut-ikutan mengadopsi budaya Barat ini, tanpa mengetahui sejarah asal-usulnya. Sungguh ironis!

Sehingga, persoalan mendesak yang mesti dilakukan adalah memberikan pemahaman yang tepat atas hakikat makna “kasih sayang”, agar masyarakat Indonesia tercerahkan dan tidak mudah ‘terbius’ oleh pengaruh westernisasi.

Setidaknya saya mencatat ada dua keganjalan yang perlu dikaji dalam Valentine’s Day. Pertama, jika memang Valentine dimaknai sebagai Hari kasih sayang umat manusia sedunia, pertanyaanya adalah apakah logis hari kasih sayang hanya ditetapkan pada 14 Februari saja? padahal, dalam realitanya sesama manusia butuh kasih sayang setiap hari. Kedua, jika Valentine ditafsirkan dengan ‘hari raya kasih sayang’ bagi orang yang sudah memiliki pasangan (baik itu pacar/suami/istri), bagaimana dengan anak-anak kecil, janda, atau duda yang sudah tidak (mau) mampu memiliki pasangan lagi? Apa nasib mereka dibiarkan begitu saja tanpa rasa kasih sayang dari manusia lain?
Jika ditelaah secara logis, sebenarnya inti dari permasalahan dalam Valentine’s Day adalah kesalahapahaman dalam memaknai “kasih sayang” itu sendiri, sehingga perlu dilakukan reinterpretasi. Hemat saya, hakikat kasih sayang bukanlah perasaan ‘cinta-buta’ terhadap pasangan, sehingga menghalalkan “laku maksiat” sebagai bukti atas kasih sayang terhadap pasangan, seperti oleh orang-orang Barat dalam merayakan Valentine’s Day dengan menggelar pesta miras, pesta seks, atau sebagainya.
Bukan pula, kasih sayang diinterpretasikan sebagai ‘pemilikan’ subjek atas objek. Sadar atau tidak, selama ini cinta dan kasih sayang yang diberikan manusia hanya dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimiliki, dimana darinya muncul naluri untuk mengatur dan menguasai. Sehingga, tak ayal bila cinta yang selama ini menyeruak pun hanya didasarkan pada modus memiliki (to have), bukan didasarkan pada modus menjadi (to be). Oleh Erich Fromm, cinta seperti ini hanya terbalut erat dengan kuasa dan dominasi, sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru tentang hakikat cinta.
Adanya modus ingin memiliki (to have) menjadikan cinta beku dan tidak membebaskan, karena ada yang menjadi subjek dan ada yang menjadi objek, ada yang menguasai dan ada yang terkuasai. Menurut Erich Fromm cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan apalagi penindasan. Seyogyanya, mesti ada cinta produktif dan cinta konsumtif. Yang produktif itulah yang harus dikembangkan.
Jadi, hakikat kasih sayang bagi saya adalah kehadiran rasa tulus yang timbul dari lubuk hati kedua belah pihak (subjek dan objek), karena ingin menggapai tujuan mulia dan mendapat ridlo dari-Nya, bukan lantaran adanya kepentingan untuk memiliki dan dimiliki.

Disamping itu, saya pikir terlalu “dangkal” bila pemaknaan Hari kasih sayang diperingati tanggal 14 Februari saja. Bagi saya, hari kasih sayang bisa diperingati kapan saja, selama manusia mau mendedikasikan cintanya kepada Tuhannya, sesama manusia, dan alam.

Valentine Perspektif Islam Indonesia

Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, sekaligus sebagai agama yang mengusung misi rahmatan lil ‘alamin (penebar kasih sayang bagi seluruh alam) tentu secara tegas telah menggariskan norma-norma syari’at Islam kepada pemeluknya. Valentine’s Day yang dipersepsikan oleh orang-orang Barat sebagai Hari kasih sayang adalah sebuah “kecelakaan sejarah” umat manusia. Bagaimana tidak, sejarah asal muasalnya saja tidak jelas, tetapi kenapa dijadikan budaya? Apa tidak latah itu namanya?
Sementara dalam ajaran Islam, hukum merayakan Valentine’s Day adalah haram (tidak boleh), hal ini karena beberapa alasan. Pertama, Ia merupakan hari raya bid’ah (sesuatu yang diada-adakan) yang tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Islam. Kedua, ia dapat menyebabkan hati lalai kepada Allah swt, lantaran sibuk dengan perkara-perkara rendahan, seperti saling tukar hadiah, saling berkirim kartu Valentine, apalagi jika sampai Valentine dirayakan dengan saling berciuman, berpegangan tangan, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya. Sungguh perbuatan tersebut sangat dilaknat oleh Allah swt, dan hal ini jelas mendekatkan pada zina. Ketiga, ada unsur syirik kepada Allah swt. Sebagai contoh, hal ini tercermin dalam ucapan “Be My Valentine”. Ken Sweiger dalar artikelnya berjudul Should Biblical Christian Observe It mengatakan bahwa “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka, disadari atau tidak, -sebagaimana tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “To be My Valentine”, maka secara otomatis berarti kita melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan dan menyekutukan-Nya (karena memintanya menjadi Sang Maha Kuasa). Dan itu tergolong dalam syirik akbar yang tidak bisa diampuni dosanya dalam perspektif Islam. (www.korrnet.org), Naudzu billahi min dzalik!

Mengenai pelarangan asal ikut-ikutan yang tidak tahu asal-muasalnya, Rasulullah saw juga memberikan peringatan keras pada umatnya dalam sebuah hadits; “man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum”, yang artinya barang siapa yang menyerupai suatu kaum tertentu (dalam kejelekan atau kekufuran), maka ia termasuk diantara kaum tersebut. (Umdatul Qori, Syarah Shohih Bukhori, bab al-amru bi ittiba’ al-janaiz, juz 12: 133).
Sungguh, bila seseorang itu hanya sekadar ikut-ikutan mengekor budaya orang lain -apalagi budaya yang sarat maksiat- dan tanpa tahu akibatnya merupakan sebuah “kecelakaan fatal” bagi umat manusia. Padahal, kelak di hari pembalasan semua amal manusia akan dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Pencipta.
Jika sudah mengerti begitu, apakah kita sebagai bangsa besar yang memiliki tradisi adat ketimuran masih saja ikut-ikutan mengekor budaya Barat dengan ikut merayakan hari Valentine? Beranilah untuk mengatakan “Say no to valentine’s day” kepada siapapun, demikian.

Ammar Machmud

*Penulis adalah Alumnus IAIN Walisongo Semarang, pengelola blog www.senjaputih.wordpress.com

Kamis, 17 Maret 2011

AWAL KEPENGURUSAN PERIODE 2011

Pada Senin Pahing, 28 Rabi’ul Awwal 1432 H/28 Februari 2011 H merupakan hari pertama masuk kuliah. Hari itu merupakan kuliah umum semester genap bagi semua mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang diselenggarakan di masing-masing fakultas. Sebelumnya para mahasiswa pun sudah banyak yang kembali ke kos, pondok maupun asrama untuk bersiap-siap menempuh semester baru dengan sejuta harapan yang tak pernah pupus untuk mewujudkannya.

Untuk kegiatan rutinan dwimingguan pertama dilaksanakan pada Rabu Wage, 26 Rabi’ul Awwal 1432 H/02 Maret 2011 M di depan Ubinsa Kampus 3. Adapun agenda pada hari itu adalah temu kangen sekaligus pembentukan kepanitiaan Training Jurnalistik dan keadministrasian yang insyaallah akan dilaksanakan pada Sabtu Pon, 20 Rabi’ul Akhir 1432 H/26 Maret 2011 M. Untuk panitia pelaksana, Husnut Tahhari terpilih sebagai ketuanya. Dan selanjutnya rapat koordinasi kepanitiaan dilaksanakan pada Selasa Kliwon, 02 Rabi’ul Akhir 1432 H/08 Maret 2011 M di depan kantor dekanat Fakultas Tarbiyah dengan agenda persiapan pelaksanaan acara training tersebut.

Selanjutnya pada Rabu Legi, 03 Rabi’ul Akhir 1432 H/09 Maret 2011 M, para pengurus mengadakan rapat internal dengan berbagai pembahasan. Diantaranya adalah persiapan training jurnalistik dan keadministrasian, silaturrahim ke rumah dosen-dosen asal Kudus, pembuatan seragam almamater dan persiapan koordinasi dengan FOKKUS (Forum Komunitas Kudus) IKIP PGRI Semarang.

Pada awal kepengurusan ini, banyak agenda yang sudah dan insyaallah akan terlaksana. Diantaranya bazar wisuda pada bulan Januari, silaturrahim ke rumah dosen pembimbing serta koordinasi dengan FOKKUS (Forum Komunitas Kudus) IKIP PGRI Semarang untuk membahas organisasi daerah Kudus di Semarang pada bulan Februari. Dengan berbagai kendala waktu, situasi dan kondisi, tetapi berkat rahmat Allah Ta’ala, beberapa kegiatan sudah terlaksana dan sebagian lagi sudah dipersiapkan dengan baik. Wallahu al-Musta’aan.

By: Admin