Selasa, 29 Juni 2010

3C ( Cinta dan Cita Chilya )

Pagi yang cerah, mentari pagi tampak indah menghiasi langit seolah menemani Chilya melaju dengan sepedanya menuju sekolah. Tampak rona kebahagiaan terukir di wajah cantiknya dengan kibaran jilbab putihnya. Sejauh 1 Km setiap hari Chilya mengayuh sepedanya pulang pergi sekolah. Walaupun begitu tak sedikitpun timbul perasaan rendah diri di hatinya sebagai siswi SMU favorit di kotanya. Sejak kecil Chilya dan kakaknya bernama Hasan diasuh oleh paman dan bibinya sepeninggal kedua orang tuanya. Walau sudah lama tak merasakan hangatnya cinta kasih ayah bunda, mereka tetap merasakan kasih sayang dari keluarga paman.
Tak lama ia tiba di sekolah. Langkahnya begitu bersemangat menyusuri jalan menuju kelasnya. Tiba-tiba didengarnya seorang tengah memanggil namanya. Ia menengok ke arah sumber suara. Ternyata Hilman menghampirinya.
“Hilman, ada apa?”
“Nanti ada pertemuan anak-anak redaksi di sekertariat” Ujar Hilman dengan gaya ketusnya.
“OK”
Cowok berkacamata itu segera meninggalkannya. Hilman dan Chilya anggota tim jurnalis sekolah, selain itu ada Shila dan Raghib partner kerjanya. Shila cewek tomboi yang merupakan teman sebangku sekaligus sahabat Chilya. Raghib dengan ciri khas gayanya yang sok cool dan jepret sana jepret sini dengan kamera digitalnya.
Sebelum bel masuk berbunyi, Shila menyempatkan diri sharing pada Chilya.
“Chil, aku mau sharing nih”, meniru gaya Raghib
“Boleh, sharing apa?”
“Kamu masih ingat kan sama cowok yang sering aku ceritakan ke kamu?”
“Yupz”
“Makin hari aku makin jatuh hati sama dia. Senyumnya, sikapnya, dan sosoknya yang begitu sempurna di mataku, membuatku gak bosan-bosannya mikirin dia”
“Hmm…. Tapi kamu payah Shil, kamu gak pernah ngasih tau namanya sama aku, jadi penasaran melulu.”
“Santai aja, ntar juga tau sendiri. BTW, gimana kalo aku nembak dia?”
“What??? Shila, apa-apaan sih. Kamu tuh cewek!”
“Yeeey, emang! Sejak aku lahir semua orang juga tau kalo aku cewek. But, hari gini gitu loch, Chil?!”
“Gak, pokoknya aku tetap gak setuju. Titik, gak pake koma!”
Teeet…teeet…teeet… Bel masuk berbunyi menandakan kegiatan belajar mengajar siap dimulai. Kegiatan belajar serasa begitu cepat. Jam ,istirahat pub tiba. Chilya beranjak meninggalkan kelasnya. Shila mengikutinya.
“ Chil, mau kemana?”
“ Ke sekertariat menemui Hilman, katanya ada job buatku.”
Mata Shila berbinar, ia pun ikut sahabatnya menemui Hilman. Kedua cewek lincah berjilbab itu menuju sekertariat, di sanalah pangkalan anak-anak redaksi. Keduanya begitu kontras. Chilya cewek lembut nan anggun, sedangkan Shila cewek tomboi namun manis dipandang.
Di sekertariat seluruh crew redaksi segera berdatangan. Hilman menunggu kedatangan Chilya. Hatinya berdebar-debar. Ia telah lama memendam perasaan cintanya pada Chilya. Cowok mana yang tak kagum dengan pribadi Chilya. Hilman yang dikenal ketus, tak kuat menahan pesona Chilya. Ia tak menyadari tengah ditaksir seseorang. Dialah Shila.
Di depan mading ramai berdesakan. Karena penasaran Chilya dan Shila melihat apa yang tengah menjadi pusat perhatian teman-temannya. Disana tertempel sajak-sajak cinta puitis yang begitu indah, sayangnya sajak indah itu anonim. Siapakah gerangan penyairnya? Semua yang membacanya penuh tanda tanya besar. Keduanya segera meninggalkan mading lalu menuju sekertariat.
Seluruh tim jurnalis berkumpul. Hilman, sang Pimred memulai diskusi dan membagi job. Di tengah obrolan santai mereka, mata Shila tak henti-hentinya memandang pujaan hatinya. Hilman tak menyadarinya. Raghib tak ketinggalan dengan tingkah usilnya, mengabadikan tingkah Shila dalam kamera digitalnya. Shila tetap tak menyadari bahwa ia tengah ditertawakan oleh semua rekannya. Chilya yang duduk di sebelahnya segera membangunkan dari lamunannya. Shila tergagap dan malu di hadapan rekan-rekannya. Ia segera meninggalkan ruangan dan menuju kelasnya.
Shila ingin melanjutkan lamunannya di kelas tanpa seorangpun yang akan mengganggunya. Ketika sedang membereskan buku-buku yang memenuhi mejanya, tiba-tiba ia menemukan sesuatu yang terselip diantara buku-buku itu. Ternyata surat yang ditujukan pada Chilya, walau ragu ia tetap membacanya. Dibacanya surat itu dan pada akhirnya tertera nama Hilman Nadja. Cowok yang begitu diidamkannya ternyata menaruh hati pada sahabatnya. Seketika itu pula hati Shila tercabik-cabik dan hancur.
Chilya masuk ,kelas. Ia menangkap perubahan pada diri Shila. Tadi yang begitu berseri-seri berubah menjadi wajah penuh dendam. Chilya menanyakan apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Shila tak menjawab. Sorot matanya penuh kebencian. Ia muak melihat Chilya dan segera meninggalkannya. Sejak itulah hubungan keduannya makin renggang.
Berhari-hari sikap Shila tak ubahnya dengan kemarin. Chilya sedih diperlakukan seperti itu oleh sahabatnya apalagi ia tak tahu penyebabnya. Persahabatan tak selamanya berjalan mulus.
Hilman bingung dengan reaksi Chilya yang biasa-biasa saja. Padahal ia telah memberanikan dirinya mengungkapkan isi hatinya lewat surat itu. Hilman dan Chilya sama-sama tak mengerti apa yang terjadi. Kuncinya terletak pada Shila namun ia tetap dengan tingkah diamnya.
Shila duduk di taman. Raghib memperhatikannya dan melihat Chilya tengah mencari seseorang. Dengan isyarat Raghib, Chilya menemukan apa yang dicari. Shila beranjak pergi melihat Chilya menghampirinya, namun Chilya memegang erat tangan sahabatnya.
“Shil, kita sahabat kan?! Tolong ceritakan apa yang udah membuatmu kaya’ gini. Apa aku ada salah sama kamu?”
“Kamu gak salah sobat, bahkan kamu gak tahu apa-apa, Cuma hatiku yang ill feel usai membaca surat Hilman.” Gumam Shila dalam hatinya sambil menitikkan air mata.
Shila tak tahan memusuhi sahabatnya dan berfikir segera mengakhirinya. Ia angkat bicara dan merogoh sakunya mengambil surat Hilman.
“Surat ini yang membuatku jadi kaya’ gini.” Shila mennyodorkannya pada Chilya
Chilya segera membacanya. Tulisan itu sama persis dengan sajak puitis di mading kemarin. Lalu dalam hati, ia bertanya-tanya siapa pengirimnya. Beberapa detik kemudian ia mendapat jawaban. Surat itu ditujukan pada pujaan hati “Chilya Syakib” dan tertera nama pengirimnya “Hilman Nadja”. Sontak ia terkejut dan menghentikan bacaannya.
“Chil, kamu ingat kan sama cowok pujaan hati yang sering aku ceritakan? Dia itu Hilman.”
Mata mereka beradu pandangan. Chilya meraih tubuh Shila dan memeluknya erat. Keduanya tak kuat menahan haru dan berurai air mata. Raghib yang sejak awal memperhatikan, kini turut mengerti masalahnya. Cuaca mendung seolah menggambarkan perasaan kedua gadis yang bersahabat itu.
“Maafin aku ya, Shil.”
“Sebenarnya kamu gak salah, justru aku yang khilaf. Ah, namanya juga perasaan. Emm,,apa kamu juga suka pada Hilman?”
“Gak. Gak salah maksudnya!”
Shila merengek dan kecewa sekali.
“Yeey, bercanda lagi. Aku menganggapnya sebatas partner kerja doang kok. So, masih semangat gak nerusin permainan rasamu itu?”
“Masih dong, he he he…”
“Gue suka gaya loe” ( Chilya berlagak seperti Raghib)
Mereka berdua kembali akur seperti sedia kala, menghiasi hari-harinya dengan ,penuh keceriaan nan senyuman.
*****
Malam pun tiba. Paman mengajak seluruh anggota keluarga menghadiri undangan tasyakuran di rumah Haji Abduh atas wisuda putranya kemarin. Tak satu pun dari anggota keluarga yang terlewatkan, sepertinya moment itu begitu penting. Mobil melaju kencang ditemani dengan derasnya hujan. Chilya teringat dengan mendiang orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan tragis beberapa tahun yang lalu. Derasnya hujan torehkan duka yang teramat mendalam. Matanya yang indah mulai berkaca-kaca, namun ia segera mengusirnya dengan tingkah lucu sepupunya yang masih balita bernama Azka, putra bungsu paman. Satu mobil ramai akan tingkah Azka.
Satu jam berlalu. Mereka telah sampai di rumah Haji Abduh. Hasan sangat bahagia karena sebentar lagi bertemu teman bermainnya waktu kecil, Habib. Ia adalah purta Haji Abduh yang baru saja menyelesaikan studi S1 di Mesir.
Haji Abduh sekeluarga menyambut hangat kedatangan mereka. Tiba-tiba Chilya menangkap sosok yang begitu dikenalnya, Hilman. Mereka sama-sama tidak menyangka akan bertemu. Acara tasyakuran berlangsung. Kedua keluarga melanjutkan dengan obrolan santai namun teramat penting untuk diikuti, terlihat tak satu pun dari kedua anggota keluarga yang terlewatkan. Setelah tuan rumah menjelaskan panjang lebar, hampir semuanya terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar. Terlebih Chilya dan Habib. Mereka berdua telah dijodohkan. Haji Abduh adalah sahabat akrab ayah Chilya. Hasan nyaris tak percaya, ia sebagai kakak tidak mengetahui hal ini sebelumnya. Paman dan bibi tidak pernah menceritakannya meski mereka tahu. Chilya hanya menunduk dengan mata berkaca-kaca, ia tidak kuat menatap ke depan dan sekelilingnya. Tepat di hadapannya duduk seorang pemuda tampan yang baru dikenalnya malam itu. Dialah Habib. Chilya shock dengan kabar ini. Hasan mengerti perasaan adiknya. Sebagai kakak, ia pun angkat bicara.
“Maaf, ijinkan Saya mewakili adik Chilya menanggapi kabar ini.”
“Tentu, silakan nak Hasan.”
“Sebenarnya kami amat terkejut dengan kabar ini, kiranya dik Chilya membutuhkaan waktu untuk memikirkan hal yang sakral ini.”
“Oh, ya tentu. Lalu bagaimana tanggapanmu, Habib?”
“Saya mengikuti abah dan umi saja.”
Habib terpesona melihat Chilya, namun ia tetap berusaha menampakkan sikapnya yang biasa. Hilman pupus harapan akan cintanya. Gadis yang dicintainya ternyata adalah calon iparnya.
Keluarga Chilya berpamitan. Selama di perjalanan Chilya tak bicara sepatah kata pun. Hasan memperhatikannya. Pikiran Chilya mengembara. Mengapa ayahnya berbuat demikian. Memang dulu ayahnya berkata padanya bahwa kelak ia akan dinikahkan dengan pemuda yang sholeh. Diakah yang dimaksud ayah? Kak Habib, pemuda yang sama sekali belum pernah dikenalnya, kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Menurut apa yang telah didengarnya tadi, Habib memang telah lama di pesantren. Lalu atas beasiswa, ia melanjutkan studinya di Mesir. Usianya sebaya dengan kakaknya. Jujur pemuda seperti Habib lah dambaan hati Chilya. Namun hari ini hatinya begitu kalut, sejak konflik dengan Shila, membaca surat Hilman, dan terakhir perjodohan ini.
*****
Hasan memikirkan Chilya. Banyak harapan Hasan pada adik satu-satunya yang penuh prestasi dan talenta. Sangat disayangkan jika tidak dikembangkan karena menikah dini. Adiknya punya banyak angan dan cita-cita, itu semua belum tercapai walau mungkin satu dari cita-citanya telah menanti di depan mata yakni menikah dengan Habib, yang berarti membahagiakan mendiang ayah bundanya. Tidak, menikah bisa ditunda. Andaikan memang berjodoh, tokh kelak pasti akan bertemu, pikir Hasan.
Chilya menceritakan semua masalahnya pada Shila. Ia hampir tak percaya mendengarnya. Dunia serasa begitu sempit.
Selang beberapa hari, Hasan mengajak adiknya menemui Habib karena ia berpikir banyak hal yang perlu dibicarakan. Chilya pun menyanggupi.
“Bicaralah, Adikku. Kakak ingin mendengar jawabanmu secara langsung.” Pinta Habib.
“Chilya memahami keinginan ayah bunda, Chilya ingin sekali mewujudkannya. Namun, sekarang ini Chilya benar-benar belum siap lahir batin. Masih banyak harapan yang ingin Chilya raih sebelum menikah.”
Habib memandang Chilya sejenak. Ia sungguh terpesona melihat sosok Chilya. Hatinya tersentuh dan membuatnya berdebar-debar. Ia benar-benar ingin memiliki dan membahagiakan gadis cantik nan santun di depannya itu.
“Kak Habib mengerti dan tak ingin memaksa Adik terburu-buru melangkah. Memang pernikahan adalah hal yang sangat sakral dan perlu kesiapan lahir batin. Untuk itu, Kakak setujui keinginan Adik dan bersedia menunggu Adik.” Jelas Habib
Lega hati Chilya dan Hasan mendengar jawaban bijak Habib. Chilya siap meniti jalan meraih cita-citanya sembari Habib melanjutkan studi S2 di Belanda. Mereka menitipkan cintanya pada Dzat Pemberi anugerah cinta. Dalam hati mereka berdua seraya berdoa memohon pada-Nya agar kelak tiba saatnya semoga dipertemukan dalam suatu ikatan suci penuh berkah berlimpah.

By: Naili Ni’matul Illiyyun
Ketua Ma'had Putri FUPK IAIN Walisongo Semarang