Jumat, 30 Juli 2010

Penjemputan Wisudawan-Wisudawati Asal Kudus

Pada Kamis pagi yang cerah di sekitar kampus 3, ada beberapa organisasi yang sedang menyiapkan penjemputan. Begitu juga, ada beberapa teman KMKS sedang menyiapkan tempat untuk stand penjemputan wisudawan-wisudawati asal Kudus di depan gedung M fakultas Syari’ah.
Hari itu, Kamis, 29 Juli 2010, KMKS mengadakan penjemputan wisudawan-wisudawati asal Kudus. Seperti organisasi yang lain, KMKS juga telah memasang spanduk dan membentuk kepanitiaan demi suksesnya acara tersebut. Akan tetapi sayang, hanya beberapa orang yang ikut dikarenakan wisuda kali ini dilaksanakan pada saat-saat liburan semester. Sehingga beberapa warga KMKS berhalangan untuk ikut dikarenakan masih ada di rumah.
Sekitar pukul 10.30 WIB, teman-teman sudah mulai menunggu di depan pintu audit II untuk menjemput wisudawan-wisudawati. Para wisudawan-wisudawati keluar dari pintu sebelah barat dan timur. Pada saat di lapangan, teman-teman mengalami kesulitan untuk mencari wisudawan-wisudawati dikarenakan harus mencari ke seluruh bagian dalam audit, kekurangtahuan siapa yang akan dijemput ataupun berebut dengan organisasi lainnya.
Ada sekitar 17 wisudawan-wisudawati asal Kudus pada hari itu. Akan tetapi sebagian ada yang ikut beberapa organisasi sehingga tidak semuanya bisa hadir di stand KMKS. Alhamdulillah, akhirnya ada tujuh wisudawan-wisudawati yang bisa hadir, dua wisudawan dari Fakultas Syari’ah (Ma’mur Zainal dan Muflihun), tiga wisudawati dari Fakultas Tarbiyah (Nor Farihah, Naila Zulfa dan Naila Fikrina Afrih Lia beserta keluarganya) dan dua wisudawan dari Fakultas Ushuluddin (Syariful Anam dan Muhammad Abu Nadlir).
Dalam penyambutan ini, ada penyerahan kenang-kenangan dari KMKS kepada kakak-kakak wisudawan-wisudawati yang diserahkan langsung oleh ketua umum KMKS, Mohammad Khasan Amrullah. Kemudian acara dilanjutkan dengan doa yang menandai berakhirnya acara penjemputan pada hari itu. Selamat kepada kalian semua kakak-kakakku. Mudah-mudahan kalian semua dalam naungan rahmat Allah Ta’ala.

By: Shohibul Fadhilah
Sekretaris Panitia Penjemputan KMKS

Selasa, 27 Juli 2010

Kudus dan Arah Kiblat Ilmu Falak

Dua hari berturut-turut (17-18 Juli) Suara Merdeka menurunkan laporan tentang dinamika perubahan arah kiblat di beberapa masjid besar yang ada di daerah. Kiblat menjadi persyaratan formal sah dan tidaknya shalat. Begitu pentingnya masalah formalitas dalam ibadah sehingga shalat yang tidak dilaksanakan dengan dada menuju kiblat, batal.
Saat ini, kiblat shalat dianggap ahli ilmu falak kurang sesuai arah pas Ka’bah karena seiring terjadinya pergeseran bumi. Kalau dulu arah kiblat menghadap ke barat, kini agak melenceng ke utara: barat laut. Karena itulah, beberapa pengelola masjid ada yang merombak bangunan atau menyesuaikan garis barisan shalat demi mengarahkan agar arah kiblat sesuai arah pancer Kakbah di Makkah.
Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, represi kuasa begitu hegemonik dalam penentuan arah kiblat dan keputusan berbasis astronomi lainnya. Siapa yang ’’membangkang’’ akan terkena represi penguasa. Adalah KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi (1915-1999), ulama ahli ilmu falak dari Kudus yang semasa hidupnya acap mendapatkan perlawanan dari penguasa karena keputusannya yang berbeda.
Ilmunya itu adalah disiplin ilmu yang tidak banyak digeluti orang. Dalam khazanah Islam, falak didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji lintasan edar pasti benda-benda langit (falak), yang dalam bahasa Inggris disebut orbit. Karena itu, ada yang menyebutnya dengan ilmu hisab (perhitungan), miqat (batas waktu), rusydu (pengamatan), dan hai’ah (peredaran bulan). Seringkali pula disamakan dengan astronomi (falak ilmi/terapan). (Susiknan Azhari, Ilmu Falak, 2007).
Di Kudus, dalam pengamatan penulis, hanya dua sekolah swasta yang memberikan kesempatan kepada peserta didiknya mempelajari falak, yaitu Madrasah Tasywiqut Thullab Salafiyah (TBS), tempat Mbah Tur (sapaan akrab KH Turaichan) dulu menimba ilmu, dan Madrasah Qudsiyah.
Meskipun begitu, Kudus dianggap memiliki pengaruh besar perkembangan falak Indonesia, dengan Mbah Tur sebagai ikonnya.
Semasa Mbah Tur masih hidup, orang Kudus punya kiblat sendiri dalam penentuan awal bulan puasa, penentuan Hari Raya, arah kiblat, serta fenomena gerhana yang kerap memicu konflik antargolongan umat Islam. Apapun yang dikatakan Mbah Tur, akan diikuti orang Kudus, kendati berlawanan dengan keputusan pemerintah.
Kiblat Ilmu Falak
Tatkala dipercaya sebagai Ketua Markas Penanggalan Jawa Tengah, edaran kalender di Jateng adalah hasil dari tangan kreatif Beliau. Kecermatannya menghitung peredaran orbit angkasa luar acapkali membuat penguasa kala itu meradang. Pada 1984 misalnya, Mbah Tur pernah diperkarakan karena menentang anjuran pemerintah berdiam diri dalam rumah saat gerhana matahari total datang. Alasannya, gerhana total yang disaksikan dengan mata telanjang bisa mengakibatkan kebutaan mata.
Alih-alih menaati, Mbah Tur justru mengajak secara terang-terangan kepada masyarakat luas untuk ke luar rumah menyaksikan langsung dan bersama melaksanakan shalat khusuf (shalat karena gerhana matahari), seperti anjuran Nabi Muhammad. Terbukti, tak ada di antara mereka yang buta kornea matanya. Kukuhnya pendapat Mbah Tur dan kejelian pengamatannya kian membuat kiai yang pernah duduk di jajaran pengurus PBNU ini dikenal sebagai guru falak Indonesia.
Kudus kemudian dikenal sebagai kiblat perkembangan ilmu falak. Sepeninggal Mbah Tur, ada beberapa murid pengganti yang meneruskan kiprahnya, antara lain Rafiq Hadziq, Nur Ahmad, Choiraz Zad, Sirril Wafa (putra beliau), dan Ahmad Bashir. Namun, karena tingkat keilmuan mereka belum bisa menyamai profesionalitas Mbah Tur, belum ada yang berani mengeluarkan fatwa yang berbeda dari keputusan pemerintah, kendati tak jarang lebih tepat.
Saya ingat, ketika masih belajar Ilmu falak di TBS kawan-kawan sekelas diajak membuat kalender tahun-tahun bersejarah, semisal tahun Proklamasi Kemerdekaan 1945, Kebangkitan Nasional 1928, kelahiran NU 1926, tanggal kelahiran perorangan, dan tragedi kerusuhan Mei 1998.
Kalau ada sekolah lain berbasis falak, syukur di luar Kudus, Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat menghadap barat laut itu mungkin tidak akan memicu konflik berkepanjangan karena banyak orang bisa menghitung cermat secara falakiyah. Di Kudus sudah ada, tinggal meng-copy-paste untuk daerah lain.

By Ahmad Tajuddin Arafat S. Th. I, alumnus Madrasah Tasywiqut Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, kelahiran Kudus

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu 24 Juli 2010